Jumat, 18 Juni 2010

PUISI (ADANYA NARKOBA)

AWAL PERTAMA KU MELIHATMU
TIMBUL SEBUAH RASA DALAM JIWAKU
RASA SUKA DIDALAM HATIKU
TAPI KINI ENGKAU TELAH RUSAK JIWAKU

KU AKUI AKU MANUSIA BIASA
KUAKUI AKU BUKAN SATRIA
NAMUN BILA AKU SUDAH SUKA
TAK AKAN KU TINGGALKAN SAJA

HASRAT SUKA YANG ADA
MENDORONGKU TUK MENCOBA
NAMUNTIMBUL RASA DUKA
KAU HANCURKAN JIWA

SERIBU KALI KU COBA
UNTUK MENJAUHIMU
NAMUN KUTAK BISA
MELUPAKAN KENANGANMU

TUHAN, SEMBUHKANLAH HAMBA
JAUHKANLAH HAMBAMU DARI DOSA

OBAT PENENENG + PERMEN = PERMEN BIUS


Pada suatu ketika,dalam sebuah organisasi besar bernama DJUPAMI yang memiliki kurang lebih 125 anggota, dalam organisasi ini dipimpin oleh seorang ketua dan pasangannya (pacarnya), organisasi ini menganut aliran organisasi genk yang bersifat keras karena anggota dari komplotan ini sering membiasakan tindak kriminal dan kekerasan.
disini saya tidak akan bercerita tentang kasus kriminalitas, namun saya akan sedikit bercerita tentang persahabatan antara Permen dan Obat penenang, kedua makanan dengan jenis dan fungsi berbeda ini memili peran yang berbanding terbalik dalam kehidupan sehari-hari.
"Men Permen, loe mau nggak nggajak gua maen ke pabrik permen?" Tanya Obat. Permen pun menjawab "Aku nggak berabi Bat,". "Kenapa harus nggak berani? kan itu tempat loe dan kawan-kawan loe diciptakan" Tanya Obat. Permen menjawab"Iya sich, Tapi klo Pak Oven lihat aku berkeliaran disana, pasti aku dimarahin ma dia". "gak usah mikirin itu,Lebih baek loe nemenin gua maen kesana deh, ntar loe gua pinjamin kartu sewa mesin penyejuk sehari semalm GRATISSSS!!!! dech,oke!" Bujuk Obat."Tapi...." jawab Permen sambil ragu."gak usah ada tapi-tapian, trima aja, itung-itung itu sebagai imbalan bwat loe, karena loe telah menemaniku maen ke pabrik permen, oke"bujuk Obat lebih tegas lgi,. "Terserah kamu deh, tapi kamu jangan sembarangan ya!!!" Jawab Permen sehabis dipaksa,
"iya ya, khawatir bwanget sih loe" sahut obat, 'bukannya gitu, aku nggak mau klo.......' ucap permen membela diri,"crewer banget sih loe!'. Akhirnya mereka pun tiba di Pabrik permen, dalm pabrik mereka melihat ada Pak Oven sedang tidur, berarti segala aktivitas yang mereka lakukan tak ada yang melarang, kecuali Pak oven terbangun. akhirnya,si obat bikin ulah, dia menghilang dari samping permen dan menjelajahi seleruh ruangan yang ada didalam pabrik,Tanpa disadari ternyata si obat telah masuk ke ruang adonan, disana ia melihat larutan sukrosa yang membuat si obat tergiur oleh keindahan larutan itu, seolah ia terhipnotis dan timbul rasa untuk berenang didalamnya, dan si obat pun memberanikan diri untuk berenang kedalam ;arutan itu,ternyata eh ternyata larutan itu masih mengandung zat soda yang secara otomatis si obat bereaksi kedalam sukrosa karena adanya pertemuan antara kedua senyawa aktif tersebut,sinyal alarm pabrik pun berbunyi karena adanya suatu kekeliruan dalam proses, si permen pun takut dan berlari untuk mencari si obat, lalu ia dipergoki oleh Pak oven, Pak oven pun marah setelah melihat si permen yang nekat melanggar aturan pabrik tersebut, si permen pun di hukum oleh Pak oven dengan hukuman dipanaskan kedalam oven dengan suhu 1000 derajad C, secara otomatis si permen pasti meleleh dan tak tersisa. Keesokan harinya pabrik aktif kembali untuk memproduksi permen seperti biasa, Dampak dari kelalaian si obat dalam bersahabat, manimbulkan dampaknegative kapada para konsumen. Waktu itu ada dua karyawan yang mengecek pabrik, salah satu dari mereka mencicipi permen hasil produksi dan dalam hitungan detik ia tak sadarkan diri, baru setelah kurang lebih 4jam, dia terbangun, mareka berdua menyimpulkan bahwa produksi permen kali ini tidak beres, dan tanpa berfikir panjang mereka mencari keuntungan dalam masalah ini, mereka mencoba mengajak kerja sama kepada geng DJUPAMI, dampaknya banyak korban dari permen bius itu.

Senin, 14 Juni 2010

AWAS, ADA ALAT BERBAHAYA DALAM LINGKUNGAN......!


Dalam keseharian kita, kita tak pernah menyadari bahwa ada beberapa kelompok alat yang kita pakai sehari-hari dapat membahayakan jiwa dan kesehatan kita. Contohnya piloX, siapa coba yang belum pernah mengenal alat yang bernama piloX, pasti semua sudah mengenal bukan?
PiloX sering digunakan anak muda untuk berkreasi dalam keseharian mereka, biasanya mereka memakai alat ini untuk membuat kreasi yang bernama GRAFFITY, Terkadang mereka tak meyadari bahwa pada saat mereka menyemprotkan Cat dari dalam piloX ini, secara otomatis dan secara tidak disengaja, kita menghirup aroma udara yang keluar dari dalam kaleng piloX, padahal zat yang terdapat dalam aroma tersebut merupakan salah satu dari zat kimia yang bersifat keras dan berbahaya bagi kesehatan tubuh kita, apabila zat tersebut terhirup lalu masuk ke darah dan segera merusak saluran otak, maka efeknyadalam jangka pendek : Hampir seperti pengaruh alkohol,dapat menimbulkan ketagihan,dan halusinasi tinggi, sehingga dia mati karena angannya sendiri.
Pengaruh jangka panjang : Terjadi kerusakan pada otak, paru-paru,ginjal, sum-sum tulang belakang dan jantung.

AWAS!! PERHATIKAN LINGKUNGAN SEKITARMU!!!

Rabu, 09 Juni 2010

PUISI (NARKOBA)

Dikala problem menerjang
Kua diam-diam datang
Berlahan tapi mematikan
kau berikan kenikmatan

Kau berikan janji dengan bukti
Membuat orang jadi lupa diri
Pikiran melayang terbang keawan
Serasa menghirup udara kesejukan

manusia hanya insan yang biasa
Mampu terkecoh godaan dunia
Seperti obat tapi berbahaya
Kenikmatannya butakan jiwa

Narkoba..........
Hadirmu sisakan duka
Merusak moral bangsa
Racuni jiwa mereka.....

Percuma negara indonesia merdeka
Jika bangsa terjajah NARKOBA.........

Sabtu, 05 Juni 2010

Jauhi Narkoba Bukan Orangnya .....!?

Kebanyakan orang bila mendengar temannya mengkonsumsi narkoba pasti hal yang pertama dipikirkan adalah bagaimana saya menghindari dia agar tidak bertatap muka dengannya. Hal tersebut memang wajar dilakukan untuk memproteksi diri agar tidak terpengaruh.Akan tetapi hal semacam itu tidak harus dilakukan pada semua pecandu,bagaimana jika teman kita ingin bertobat karena dia memang sudah menyadari kesalahannya, apakah hendaknya kita meninggalkannya begitu saja? Hal yang paling utama kita lakukan adalah menolong teman kita tersebut agar tidak merasa jatuh karena kesalahan yang telah diperbuat, kalau bukan kita yang sebagai teman siapa lagi? masak sama orang yang baru kenal, 90% tidak mungkin! Bila kita memang sudah mengenal dia dengan baik, mengapa tidak untuk menolongnya! ataukah kita gengsi karena dia dulunya adalah pecandu narkoba. Saat-saat itulah gunanya teman untuk memberi motivasi agar teman kita tidak terjerumus lebih jauh dalam dunia narkoba, rugi banget tau kalo kita sampai terjerumus! so jangan tinggalkan teman kamu disaat dia butuh bantuan dan motiavasi dari kamu. Jauhi Narkoba bukan orangnya...!!!

Sumber :klik disini




Benar kata saudara Rudi, Jauhilah narkoba, Bukan jauhi Orangnya, dalam arti kita menjadi seseorang yang mungkin bisa memberikan pengarahan kepada mereka, memberikan semangat untuk hidup dengan cara mandiri tanpa bergantung pada Narkoba, kita tunjukkan cara hidup GANTLE kepada mereka, syukur-syukur mereka bisa berubah, dan ikut kepada kita.

Kamis, 03 Juni 2010

ITU NARKOBA........!?


Apa yang dimaksud dengan Narkoba?
Narkoba adalah akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya.

  • Narkotika
  • Psikotropika
  • Bahan Adiktif lainnya
  • Apa yang salah dengan Narkoba?
    Berdasarkan UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika bahwa narkoba tidak diperbolehkan untuk disalahgunakan dan diedarkan secara gelap. Itu berarti bahwa narkoba boleh digunakan dan boleh diedarkan. Masih menurut kedua undang-undang tersebut bahwa narkoba boleh digunakan dan boleh diedarkan dalam dunia pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun sekarang ini banyak jenis-jenis obat dan zat yang tergolong narkoba yang tidak dikenal dalam dunia pengobatan dan dunia pengembangan ilmu pengetahuan yang disalahgunakan dan diedarkan secara gelap.

    Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan obat?
    Penyalahgunaan obat artinya memakai obat tanpa indikasi medis atau tanpa petunjuk dokter karena penyakitnya atau hal lain yang dianjurkan dokter. Yang paling banyak disalahgunakan adalah narkotika, psikotropika dan bahan adiktif lainnya yang dapat menimbulkan ketagihan/kecanduan dan ketergantungan yang populer disebut dengan narkoba. Tanpa indikasi (kegunaan) yang dianjurkan dokter atau dosis yang tidak tepat akan berbahaya bagi kesehatan manusia dan bahkan dapat menimbulkan kematian tiba-tiba.

    Penggunaan istilah

    NAPZA
    NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan fungsi sosialnya oleh karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umunya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitikberatkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran.

    NARKOBA
    Berdasarkan surat edaran Badan Narkotika Nasional Nomor: SE/03/IV/2002/BNN bahwa istilah baku yang dipergunakan adalah NARKOBA sebagai akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan-bahan Adiktif lainnya. Istilah ini sangat populer di masyarakat termasuk media massa dan aparat penegak hukum yang sebetulnya mempunyai makna yang sama dengan NAPZA. Dan istilah ini merupakan istilah resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui surat edaran BNN.

    MADAT
    Ada juga yang menggunakan istilah Madat untuk Narkoba. Tetapi istilah madat ini tidak begitu banyak dipergunakan karena hanya berkaitan dengan satu jenis narkotika saja, yaitu turunan opium. Istilah madat ini banyak dipergunakan di kalangan LSM yang bergerak bidang pencegahan penyalahgunaan narkoba seperti, Gemaker (generasi muda anti madat dan kekerasan), Geram (gerakan rakyat anti madat). Lembaga yang sangat getol mempertahankan istilah madat adalah BERSAMA (badan kerjasama sosial usaha pembinaan warga tama) yang merupakan payung organisasi yang memiliki kepedulian terhadap pencegahan penyalahgunaan narkoba. Alasannya adalah karena istilah madat ini sudah lama dipergunakan jauh sebelum istilah narkoba muncul dan juga istilah madat adalah merupakan kata asli Indonesia yang harus dipertahankan.


    Sumber :http://letupan.wordpress.com/narkoba/



    WASPADAI NARKOBA DALAM BENTUK PERMEN RASA STROBERI DAN COKLAT

    Mas FM, Kota Malang - Narkoba dalam bentuk permen rasa strawberry dan coklat saat ini diketahui mulai beredar di masyarakat.

    Aiptu Endiex, staff bina mitra Polresta Malang mengatakan, kasus permen narkoba ini memang belum ditemukan di wilayah Malang namun sudah marak beredar di Jakarta, sehingga sudah seharusnya mulai diwaspadai.

    Ciri dari permen narkoba itu bentuknya kristal berwarna merah muda dan jika dihisap bisa berdesis dan meletup.

    “Kalau sampai dikonsumsi anak-anak yang tidak kuat bisa menyebabkan pingsan,” jelas Endiex.

    Sebelumnya kasus serupa sudah marak, namun permen dibuat dengan rasa coklat.

    Aiptu Endiex menambahkan, sejauh ini pengedar biasanya menyebarkan permen narkoba tersebut tidak melalui toko atau swalayan.

    Pelaku dalam kasus yang ditemukan, menyebarkan permen itu dengan cara memberikan kepada keluarganya terlebih dahulu, kemudian anggota keluarga yang tidak mengetahui bahwa itu adalah permen narkoba memberikannya kepada teman atau kenalannya.

    Sementara itu, untuk mengatasi kasus itu pihak kepolisian sudah memasang himbauan di sekolah, terutama di tingkat sekolah dasar dan taman kanak-kanak. (DNA)


    Sumber :klik disini

    Narkoba, sebuah kata yang tidak asing lagi bagi semua orang. Bahan berbahaya tersebut telah menjadi trend yang tak terelakkan dari kehidupan suatu negara. Posisi Indonesia yang berada pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia serta antara Samudera Hindia dan Indonesia, dan juga sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau yang begitu besar dan garis pantai yang panjang, menjadikannya rentan terhadap perdagangan ilegal narkoba. Kondisi ini ditambah dengan jumlah penduduk yang besar, mencapai kurang lebih 215 juta jiwa dengan 40% diantaranya adalah generasi muda yang merupakan kelompok rentan bagi penyalahgunaan narkoba.
    Indonesia terus bergulat melawan peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang masif ini, baik dari aspek legislasi nasional dan kerjasama. Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan UU No.22 tahun 1997 tentang narkotika yang didasarkan pada ketiga konvensi PBB, yaitu Single Convention on Narcotics Drugs 1961, Convention on Psychotropic Substances 1971, dan Convention against the Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances 1988. Indonesia pun terus berupaya meningkatkan kerjasama baik secara bilateral, regional, dan multilateral terkait penanganan narkoba ini.
    Tahun 2009 menandai 100 tahun perlawanan global terhadap penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya, yaitu dengan adanya Konferensi Shanghai, 26-27 Februari 1909. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan dalam lima tahun terakhir jumlah kasus tindak pidana narkoba di Indonesia rata-rata naik 51,3% atau bertambah sekitar 3.100 kasus/tahun. Ditengarai pula, data itu masih merupakan data di permukaan gunung es karena banyak kasus yang belum terungkap. Data yang belum terungkap jauh lebih besar bahkan bisa mencapai 10 kali lipat dibanding data yang sudah terungkap.
    Kecenderungan perkembangan narkotika mengalami peningkatan yang signifikan serta adanya bukti bahwa posisi Indonesia telah berubah dari daerah transit menjadi daerah konsumen, produsen bahkan pengekspor. Berdasarkan laporan dan informasi tentang situasi dan perkembangan permasalahan narkoba, telah diketahui bahwa peredaran gelap narkoba merupakan ancaman serius bagi masa depan bangsa karena telah merambah ke seluruh penjuru tanah air, bahkan telah sampai ke pedesaan. Peningkatan permasalahan narkoba ini, juga tampak dari meningkatnya proporsi tahanan dan narapidana narkoba di lembaga-lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang telah melampaui angka rata-rata 50 persen dari jumlah tahanan dan narapidana.
    Peningkatan dramatis angka kasus dan jumlah pengguna di tengah razia intensif oleh pihak kepolisian beberapa tahun terakhir sekaligus menjadi batu ujian krusial bagi Indonesia, terutama dalam mewujudkan Indonesia bebas narkoba 2025. Jumlah persis pengguna narkoba di Indonesia tidak diketahui. Tiga tahun lalu, menurut Kepala BNN I Made Mangku Pastika, angkanya sudah sekitar 3,2 juta orang dan untuk heroin 527.000 orang. Omzet perdagangan narkoba diperkirakan sekitar 4 miliar dollar AS per tahun. Namun, angka sebenarnya diperkirakan jauh lebih besar lagi.
    Kondisi Indonesia sekarang sangatlah memprihatinkan dengan narkoba yang semakin mengancam. Berapa kerugian ekonomi dan kehancuran yang harus ditanggung bangsa ini dari kerusakan yang disebabkan oleh narkoba. Yang memprihatinkan, korban yang yang diincar jaringan ini justru dan terutama adalah generasi muda serta kelompok usia produktif. Akibatnya, efeknya juga sangat luas, bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga keluarga, masyarakat, bahkan kehancuran bangsa. Dari sekitar 85.689 kasus tindak pidana narkoba yang terjadi pada kurun 2001-2006, menurut BNN, sekitar 92 persen melibatkan pelaku pada usia produktif (20 tahun ke atas).
    Meski polisi sudah bekerja keras, maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari ada atau tidaknya keseriusan pemerintah, termasuk dalam hal ini aparat kepolisian dan penegak hukum. Salah satu contoh, kepolisian, BNN, dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengakui, 75 persen perdagangan narkoba di Jakarta dan sekitarnya dikendalikan hanya dari tiga lembaga pemasyarakatan (LP), yakni LP Cipinang, LP Tangerang, dan Rumah Tahanan Salemba. Ancaman hukuman mati pun tak mampu membendung aksi jaringan ini. Sekitar 58 dari 112 terpidana mati di Indonesia adalah terkait penyalahgunaan narkoba dan psikotropika. Namun, tak ada satu pun dari mereka ini bandar atau pemain besar. Kalaupun tertangkap, dari balik jeruji penjara, para bandar ini masih tetap bisa menjalankan dan memekarkan imperium bisnis haramnya.
    Konsumsi narkoba melalui jarum suntik juga menjadi media penularan terbesar HIV/AIDS dan hepatitis B/C. Konsumsi narkoba merenggut 15.000 nyawa pengguna setiap tahun. Pastika bahkan memperkirakan rata-rata 40 orang meninggal setiap hari karena overdosis narkoba di Indonesia. Saat ini menurut hasil penelitian jumlah penyalahguna narkoba adalah 1,5% dari penduduk Indonesia atau sekitas 3,3 juta orang. Dari 80 juta jumlah pemuda Indonesia, 3 % sudah mengalami ketergantungan narkoba, serta sekitar 15. 000 orang telah meninggal dunia (BNN, 2006).
    Faktor – faktor yang menyebabkan penyalahgunaan narkoba semakin marak antara lain faktor letak faktor ekonomi, faktor kemudahan memperoleh obat, faktor keluarga dan masyarakat, faktor kepribadian serta faktor fisik dari individu yang menyalahgunakannya. Narkoba ketika dijual harganya sangat tinggi dan menghasilkan keuntungan yang menggiurkan, sehingga banyak yang menjadi pengedar narkoba. Semakin banyak pengedar narkoba maka semakin mudah orang untuk memperoleh narkoba. Hal itulah salah satu penyebab kenapa narkoba semakin marak, karena narkoba mudah diperoleh. Selanjutnya terkait masalah keluarga, banyak orang yang menjadi pengguna narkoba karena keluarganya kurang perhatian terhadap kehidupan anaknya, sehingga anak tersebut lebih memilih narkoba sebagai tempat yang menurutnya dapat membantu ketidak harmonisannya dengan keluarga. Kondisi masyarakat sekarang yang semakin individualis juga ikut berkontribusi terhadap meluasnya pengguna narkoba. Penyalahguna narkoba mempunyai ciri kepribadian lemah, mudah kecewa, kurang kuat menghadapi kegagalan, bersifat memberontak dan kurang mandiri.
    Perlu adanya usaha yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan di atas, baik ditataran pembuat kebijakan, aparat hukum, pengedar dan pengguna. Kalaupun sudah ada undang-undang yang mengatur penyalahgunaan narkoba dan penanganannya, namun tanpa profesionalisme untuk menjalankannya maka akan tetap sama saja. Oleh karena itu aparat hukum sekarang harus lebih profesional, tanpa pandang bulu dan bersikap tegas. Pengedar narkoba adalah salah satu stakeholder bencana narkoba di Indonesia, oleh karena itu sepantasnya pengedar narkoba perlu dihukum mati untuk memberikan efek jera bagi yang lainnya.
    Seperti dijelaskan dalam tulisan di atas bahwa yang paling banyak menjadi pengguna narkoba adalah kaum muda, maka perlu adanya penyadaran khusus baik kepada kalangan muda di negara ini dan semua keluarga (karena keluarga punya peran penting dalam mejaga kelakuan anggota keluarganya). Perlu adanya pendidikan bagi parents terkait pentingnya memberikan perhatian bagi anak mereka agar tidak terjerumus ke narkoba. Hal itu salah satunya bisa dilakukan dengan adanya acara khusus di TV yang mengupas tuntas tentang bahaya narkoba, hal itu akan bisa ditonton oleh semua penduduk Indonesia dan memberikan efek takut untuk menggunakan narkoba. Tempat paling strategis untuk memberikan pengetahuan tentang bahaya narkoba adalah sekolah, akan efektif sekali bila pemerintah memasukkan dalam kurikulum sekolah (SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi) tentang pendidikan Anti Narkoba. Hal itu akan bisa menanamkan pada semua kaum muda bangsa ini akan bahayanya narkoba mulai sejak bangku sekolah. PERANGI NARKOBA DAN SELAMATKAN GENERASI MUDA.
    (Tulisan ini saya ikutkan dalam Lomba Gue Mau Hidup, oleh Media Indonesia)


    Sumber :klik disini

    :nocomment:

    Rabu, 02 Juni 2010

    Beberapa Upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba


    Metode pencegahan dan pemberantasan narkoba yang paling mendasar dan

    efektif adalah promotif dam preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata

    adalah represif. Upaya manusiawi adalah kuratif dan rehabilitatif.



    A. Promotif

    Disebut juga program preemtif atau program pembinaan. Program ini ditujukan

    kepada masyarakat yang belum memakai narkoba, atau bahkan belum

    mengenal narkoba. Prinsipnya adalah dengan meningkatkan peranan atau

    kegiatan agar kelompok ini secara nyata lebih sejahtera sehingga tidak pernah

    berpikir untuk memperoleh kebahagiaan semua dengan memakai narkoba.



    B. Preventif

    Disebut juga program pencegahan. Program ini ditujukan kepada masyarakat

    sehat yang belum mengenal narkoba agar mengetahui seluk beluk narkoba

    sehingga tidak tertarik untuk menyalahgunakannya.

    Selain dilakukan oleh pemerintah (instansi terkait), program ini juga sangat

    efektif jika dibantu oleh instansi dan institusi lain, termasuk lembaga profesional

    terkait, lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, ormas dan lain-lain.



    C. Kuratif

    Disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada pemakai

    narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan

    penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkoba, sekaligus menghentikan

    pemakaian narkoba.

    Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai narkoba. Pemakaian narkoba

    sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan

    mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari

    narkoba secara khusus.

    Pengobatan terhadap pemakai narkoba sangat rumit dan membutuhkan

    kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya

    mengapa pengobatan pemakai narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya

    banyak yang gagal. Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik

    antara dokter, keluarga dan penderita.



    D. Rehabilitatif

    Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang ditujukan

    kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya agar

    ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh

    bekas pemakaian narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung,

    paru-paru, ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke

    arah negatif, asosial. Dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifilis

    dan lain-lain).

    Itulah sebabnya mengapa pengobatan narkoba tanpa upaya pemulihan

    (rehabilitasi) tidak bermanfaat. Setelah sembuh, masih banyak masalah lain

    yang akan timbul. Semua dampak negatif tersebut sangat sulit diatasi.

    Karenanya, banyak pemakai narkoba yang ketika ”sudah sadar” malah

    mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.



    E. Represif

    Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar,

    pengedar dan pemakai berdasar hukum.

    Program ini merupakan instansi pemerintah yang berkewajiban mengawasi dan

    mengendalikan produksi maupun distribusi semua zat yang tergolong narkoba.

    Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program represif berupa

    penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-undang

    tentang narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi, produksi,

    penyimpanan, dan penyalahgunaan narkoba adalah :

    Badan Obat dan Makanan (POM)

    Departemen Kesehatan

    Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

    Direktorat Jenderal Imigrasi

    Kepolisian Republik Indonesia

    Kejaksaan Agung/ Kejaksaan Tinggi/ Kejaksaan Negeri

    Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/ Pengadilan Negeri)



    Sumber :klik disini

    Senin, 31 Mei 2010

    UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA


    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ,
    Menimbang :
    a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
    sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan
    spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
    Dasar Negara Tahun 1945, kualitas
    sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal
    pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan
    secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya;

    b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber
    daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan
    kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan
    di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara
    lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika jenis
    tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat serta
    melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    c. bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
    yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
    kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di
    sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
    sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
    tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
    saksama;

    d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,
    menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan
    Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat
    dan seksama serta bertentangan dengan peraturan
    perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika
    karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang
    sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat,
    bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
    e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat
    transnasional yang dilakukan dengan menggunakan
    modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung
    oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
    menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi
    muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan
    masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-
    Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah
    tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan
    kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan
    memberantas tindak pidana tersebut
    f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
    dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
    perlu membentuk Undang-Undang tentang Narkotika;
    Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
    Negara Tahun 1945;

    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan
    Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun
    1972 yang Mengubahnya (Lembaran Negara Republik
    Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran
    Negara Nomor 3085);

    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic
    in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988
    (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
    Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
    Psikotropika, 1988) (Lembaran Negara
    Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara
    Nomor 3673);

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

    dan

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

    BAB
    I
    KETENTUAN UMUM

    Pasal
    1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

    1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
    atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
    yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
    kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
    menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
    ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang
    ini.
    2. Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau
    bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
    Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana
    terlampir dalam Undang-Undang ini.
    3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan,
    mengolah, membuat, dan menghasilkan Narkotika secara
    langsung atau tidak langsung melalui ekstraksi atau nonekstraksi dari sumber alami atau sintetis kimia atau
    gabungannya, termasuk mengemas dan/atau mengubah
    bentuk Narkotika.
    4. Impor adalah kegiatan memasukkan Narkotika dan
    Prekursor Narkotika ke dalam Daerah Pabean.

    5. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Narkotika dan
    Prekursor Narkotika dari Daerah Pabean.
    6. Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
    adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
    dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang
    ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika.
    7. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan untuk
    mengimpor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
    8. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan untuk
    mengekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika.
    9. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian
    kegiatan memindahkan Narkotika dari satu tempat ke
    tempat lain dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa
    pun.
    10. Pedagang Besar Farmasi adalah perusahaan berbentuk
    badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan
    kegiatan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran
    sediaan farmasi, termasuk Narkotika dan alat kesehatan.
    11. Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan
    hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
    produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk
    Narkotika.
    12. Transito Narkotika adalah pengangkutan Narkotika dari
    suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di
    wilayah Negara yang terdapat kantor
    pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
    13. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
    menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan
    ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun
    psikis.
    14. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai
    oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara
    terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar
    menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
    dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,
    menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
    15. Penyalah
    Guna adalah orang yang menggunakan
    Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
    16. Rehabilitasi
    Medis adalah suatu proses kegiatan
    pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu
    dari ketergantungan Narkotika.
    17. Rehabilitasi
    Sosial adalah suatu proses kegiatan
    pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun
    sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
    melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

    18. Permufakatan Jahat adalah perbuatan dua orang atau
    lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk
    melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta
    melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi,
    memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi
    kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu
    tindak pidana Narkotika.
    19. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan
    penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap
    pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan
    komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat
    komunikasi elektronik lainnya.
    20. Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan
    oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3
    (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk suatu waktu
    tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan
    suatu tindak pidana Narkotika.
    21. Korporasi
    adalah kumpulan terorganisasi dari orang
    dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
    maupun bukan badan hukum.
    22. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
    pemerintahan di bidang kesehatan.

    BAB II
    DASAR, ASAS, DAN TUJUAN

    Pasal 2

    Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan
    Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945.

    Pasal 3
    Undang-Undang tentang Narkotika diselenggarakan
    berasaskan:
    a. keadilan;
    b. pengayoman;
    c. kemanusiaan;
    d. ketertiban;
    e. perlindungan;
    f. keamanan;

    g. nilai-nilai ilmiah; dan
    h. kepastian hukum.

    Pasal 4

    Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:

    a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi;
    b. mencegah,
    melindungi, dan menyelamatkan bangsa
    Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
    c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika; dan
    d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
    bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.

    BAB III
    RUANG LINGKUP

    Pasal 5

    Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini meliputi
    segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan
    dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 6

    (1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    digolongkan ke dalam:
    a. Narkotika Golongan I;
    b. Narkotika Golongan II; dan
    c. Narkotika Golongan III.
    (2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum
    dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
    terpisahkan dari Undang-Undang ini.
    (3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

    Pasal 7

    Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi.

    Pasal 8

    (1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
    kepentingan pelayanan kesehatan.

    (2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
    digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia
    diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
    mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi
    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

    BAB IV
    PENGADAAN

    Bagian Kesatu
    Rencana Kebutuhan Tahunan

    Pasal 9

    (1) Menteri menjamin ketersediaan Narkotika untuk
    kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk
    pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2) Untuk keperluan ketersediaan Narkotika sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1), disusun rencana kebutuhan
    tahunan Narkotika.
    (3) Rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
    dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan data
    pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi
    tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi
    pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan
    Narkotika secara nasional.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
    kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan
    Menteri.

    Pasal 10

    (1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari
    impor, produksi dalam negeri, dan/atau sumber lain
    dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan
    Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3).
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana
    kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 9 dan kebutuhan Narkotika dalam negeri
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

    Bagian Kedua
    Produksi

    Pasal 11

    (1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi
    Narkotika kepada Industri Farmasi tertentu yang telah
    memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
    Pengawas Obat dan Makanan.
    (2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi
    Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan
    Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
    (3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan
    pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan
    hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan
    rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 9.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin
    dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
    Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

    Pasal 12

    (1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau
    digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah
    yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan
    ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
    kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
    secara ketat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
    penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam
    produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk
    kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
    dengan Peraturan Menteri.

    Bagian Ketiga
    Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

    Pasal 13

    (1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga
    pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan
    pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah
    ataupun swasta dapat memperoleh, menanam,
    menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk
    kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah
    mendapatkan izin Menteri.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

    Bagian Keempat
    Penyimpanan dan Pelaporan

    Pasal 14

    (1) Narkotika yang berada dalam penguasaan Industri
    Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
    sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
    kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
    lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
    (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana
    penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
    sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
    dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
    menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala
    mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
    yang berada dalam penguasaannya.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan
    secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
    jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
    Peraturan Menteri.
    (4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan
    mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
    dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas
    rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
    Makanan berupa:
    a. teguran;
    b. peringatan;
    c. denda administratif;
    d. penghentian sementara kegiatan; atau
    e. pencabutan izin.

    BAB V
    IMPOR DAN EKSPOR

    Bagian Kesatu
    Izin Khusus dan Surat Persetujuan Impor

    Pasal 15

    (1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
    pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
    izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan untuk melaksanakan impor
    Narkotika.
    (2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
    kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
    sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan untuk melaksanakan impor
    Narkotika.

    Pasal 16
    (1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
    Impor dari Menteri untuk setiap kali melakukan impor
    Narkotika.
    (2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit
    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan terhadap
    rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau
    penggunaan Narkotika.
    (3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam
    jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk
    kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi.
    (4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara
    pengekspor.

    Pasal 17

    Pelaksanaan impor Narkotika dilakukan atas dasar persetujuan
    pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut
    dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan di negara pengekspor.

    Bagian Kedua
    Izin Khusus dan Surat Persetujuan Ekspor

    Pasal 18

    (1) Menteri memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan
    pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki
    izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
    Narkotika.
    (2) Dalam keadaan tertentu, Menteri dapat memberi izin
    kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memiliki izin
    sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan untuk melaksanakan ekspor
    Narkotika.

    Pasal 19

    (1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan
    Ekspor dari Menteri untuk setiap kali melakukan ekspor
    Narkotika.
    (2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus
    melampirkan surat persetujuan dari negara pengimpor.

    Pasal 20

    Pelaksanaan ekspor Narkotika dilakukan atas dasar
    persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan
    tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
    pengimpor.

    Pasal 21

    Impor dan ekspor Narkotika dan Prekursor Narkotika hanya
    dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk
    perdagangan luar negeri.

    Pasal 22

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan
    Ekspor diatur dengan Peraturan Menteri.

    Bagian Ketiga

    Pengangkutan

    Pasal 23

    Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
    pengangkutan barang tetap berlaku bagi pengangkutan
    Narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini
    atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-Undang
    ini.

    Pasal 24

    (1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi
    dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika
    yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan
    Impor Narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri.
    (2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi
    dengan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang
    dikeluarkan oleh Menteri dan dokumen atau surat
    persetujuan impor Narkotika yang sah sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
    pengimpor.

    Pasal 25

    Penanggung jawab pengangkut impor Narkotika yang
    memasuki wilayah Negara wajib membawa
    dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan
    Impor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau surat
    persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
    pengekspor.

    Pasal 26

    (1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan
    Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen atau Surat
    Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan di negara
    pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas
    perusahaan pengangkutan ekspor.
    (2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan
    pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat
    Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
    atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
    negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
    (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib
    membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat
    Persetujuan Ekspor Narkotika dari Menteri dan dokumen
    atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
    negara pengimpor.

    Pasal 27

    (1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada
    kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di
    tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh
    nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
    (2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan Narkotika
    yang diangkut.
    (3) Nakhoda dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua
    puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan wajib
    melaporkan Narkotika yang dimuat dalam kapalnya
    kepada kepala kantor pabean setempat.
    (4) Pembongkaran muatan Narkotika dilakukan dalam
    kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan
    oleh pejabat bea dan cukai.
    (5) Nakhoda yang mengetahui adanya Narkotika tanpa
    dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor atau Surat
    Persetujuan Impor di dalam kapal wajib membuat berita
    acara, melakukan tindakan pengamanan, dan pada
    persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan
    menyerahkan Narkotika tersebut kepada pihak yang
    berwenang.

    Pasal 28

    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku pula
    bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.

    Bagian Keempat
    Transito

    Pasal 29

    (1) Transito Narkotika harus dilengkapi dengan dokumen
    atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang sah dari
    pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
    Persetujuan Impor Narkotika yang sah dari pemerintah
    negara pengimpor sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor
    dan pengimpor.
    (2) Dokumen atau Surat Persetujuan Ekspor Narkotika dari
    pemerintah negara pengekspor dan dokumen atau Surat
    Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang:
    a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor
    Narkotika;
    b. jenis, bentuk, dan jumlah Narkotika; dan
    c. negara tujuan ekspor Narkotika.

    Pasal 30

    Setiap terjadi perubahan negara tujuan ekspor Narkotika pada
    Transito Narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya
    persetujuan dari:

    a. pemerintah negara pengekspor Narkotika;
    b. pemerintah negara pengimpor Narkotika; dan
    c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor Narkotika.

    Pasal 31

    Pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika hanya
    dapat dilakukan terhadap kemasan asli Narkotika yang
    mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung
    jawab pengawasan pejabat Bea dan Cukai dan petugas Badan
    Pengawas Obat dan Makanan.

    Pasal 32

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Transito Narkotika
    diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Bagian Kelima
    Pemeriksaan

    Pasal 33

    Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan
    dokumen impor, ekspor, dan/atau Transito Narkotika.

    Pasal 34

    (1) Importir Narkotika dalam memeriksa Narkotika yang
    diimpornya disaksikan oleh Badan Pengawas Obat dan
    Makanan dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri
    paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal diterimanya
    impor Narkotika di perusahaan.
    (2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1), Menteri menyampaikan hasil penerimaan impor
    Narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.

    BAB VI
    PEREDARAN

    Bagian Kesatu
    Umum

    Pasal 35

    Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian
    kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam
    rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
    pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan
    dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Pasal 36

    (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan
    setelah mendapatkan izin edar dari Menteri.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    perizinan peredaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
    Peraturan Menteri.

    (3) Untuk mendapatkan izin edar dari Menteri, Narkotika
    dalam bentuk obat jadi sebagaimana dimaksud pada ayat
    (1) harus melalui pendaftaran pada Badan Pengawas Obat
    dan Makanan.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    pendaftaran Narkotika dalam bentuk obat jadi
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
    Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

    Pasal 37

    Narkotika Golongan II dan Golongan III yang berupa bahan
    baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk
    produksi obat diatur dengan Peraturan Menteri.

    Pasal 38

    Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan
    dokumen yang sah.

    Bagian Kedua
    Penyaluran

    Pasal 39

    (1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi,
    pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan
    farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam
    Undang-Undang ini.
    (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
    penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin khusus
    penyaluran Narkotika dari Menteri.
    Pasal 40

    (1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan
    Narkotika kepada:
    a. pedagang besar farmasi tertentu;
    b. apotek;
    c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
    tertentu; dan
    d. rumah sakit.

    (2) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat
    menyalurkan Narkotika kepada:
    a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
    b. apotek;
    c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
    tertentu;
    d. rumah sakit; dan
    e. lembaga ilmu pengetahuan;

    (3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu
    hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
    a.rumah sakit pemerintah;
    b.pusat kesehatan masyarakat; dan
    c.balai pengobatan pemerintah tertentu.

    Pasal 41

    Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang
    besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan
    tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan
    dan teknologi.

    Pasal 42

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    penyaluran Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri.

    Bagian Ketiga
    Penyerahan

    Pasal 43

    (1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
    a. apotek;
    b. rumah sakit;
    c. pusat kesehatan masyarakat;
    d. balai pengobatan; dan
    e. dokter.
    (2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
    a. rumah sakit;
    b. pusat kesehatan masyarakat;
    c. apotek lainnya;
    d. balai pengobatan;
    e. dokter; dan
    f. pasien.
    (3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
    balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika
    kepada pasien berdasarkan resep dokter.

    (4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
    dilaksanakan untuk:
    a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan
    Narkotika melalui suntikan;
    b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
    memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
    c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
    apotek.
    (5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
    yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
    ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

    Pasal 44

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    penyerahan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43
    diatur dengan Peraturan Menteri.

    BAB VII
    LABEL DAN PUBLIKASI

    Pasal 45

    (1) Industri Farmasi wajib mencantumkan label pada
    kemasan Narkotika, baik dalam bentuk obat jadi maupun
    bahan baku Narkotika.
    (2) Label pada kemasan Narkotika sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi
    tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan
    pada kemasan atau dimasukkan ke dalam kemasan,
    ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah,
    dan/atau kemasannya.
    (3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label pada
    kemasan Narkotika harus lengkap dan tidak
    menyesatkan.

    Pasal 46

    Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah
    kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

    Pasal 47

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    pencantuman label dan publikasi sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 45 dan Pasal 46 diatur dengan Peraturan Menteri.

    BAB VIII
    PREKURSOR NARKOTIKA

    Bagian Kesatu
    Tujuan Pengaturan

    Pasal 48

    Pengaturan prekursor dalam Undang-Undang ini bertujuan:

    a.melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
    Prekursor Narkotika;
    b.mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor
    Narkotika; dan
    c.mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan
    Prekursor Narkotika.

    Bagian Kedua
    Penggolongan dan Jenis Prekursor Narkotika

    Pasal 49

    (1) Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    5 digolongkan ke dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor
    Tabel II dalam Lampiran Undang-Undang ini.
    (2) Penggolongan Prekursor Narkotika sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan
    sebagaimana tercantum dalam Lampiran II dan
    merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang
    ini.
    (3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Prekursor
    Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
    dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan
    menteri terkait.

    Bagian Ketiga
    Rencana Kebutuhan Tahunan

    Pasal 50

    (1) Pemerintah menyusun rencana kebutuhan tahunan
    Prekursor Narkotika untuk kepentingan industri farmasi,
    industri nonfarmasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2) Rencana kebutuhan tahunan sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) disusun berdasarkan jumlah persediaan,
    perkiraan kebutuhan, dan penggunaan Prekursor
    Narkotika secara nasional.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    penyusunan rencana kebutuhan tahunan Prekursor
    Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
    (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi
    dengan menteri terkait.

    Bagian Keempat
    Pengadaan

    Pasal 51

    (1) Pengadaan Prekursor Narkotika dilakukan melalui
    produksi dan impor.
    (2) Pengadaan Prekursor Narkotika sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan
    industri farmasi, industri nonfarmasi, dan ilmu
    pengetahuan dan teknologi.

    Pasal 52

    Ketentuan mengenai syarat dan tata cara produksi, impor,
    ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta
    pengawasan Prekursor Narkotika diatur dengan Peraturan
    Pemerintah.

    BAB IX
    PENGOBATAN DAN REHABILITASI

    Bagian Kesatu
    Pengobatan

    Pasal 53

    (1) Untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi
    medis, dokter dapat memberikan Narkotika Golongan II
    atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan
    tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan.
    (2) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
    memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika
    untuk dirinya sendiri.
    (3) Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
    mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang
    dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan
    diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan
    perundang-undangan.

    Bagian Kedua
    Rehabilitasi

    Pasal 54

    Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika
    wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

    Pasal 55

    (1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum
    cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan
    masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi
    medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
    Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau
    perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
    sosial.
    (2) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib
    melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
    pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
    lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang
    ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
    pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi
    medis dan rehabilitasi sosial.

    (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
    dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 56

    (1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah
    sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
    (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh
    instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan
    rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat
    persetujuan Menteri.

    Pasal 57

    Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis,
    penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh
    instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan
    keagamaan dan tradisional.

    Pasal 58

    Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan
    baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.

    Pasal 59

    (1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 56 dan Pasal 57 diatur dengan Peraturan Menteri.
    (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 58 diatur dengan peraturan menteri yang
    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

    BAB X
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

    Pasal 60

    (1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala
    kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika.
    (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
    upaya:
    a. memenuhi ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi;

    b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;
    c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah
    dalam penyalahgunaan Narkotika, termasuk dengan
    memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan
    Narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai
    lanjutan atas;
    d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian
    dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi di bidang Narkotika untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan; dan
    e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis
    bagi Pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan
    oleh pemerintah maupun masyarakat.

    Pasal 61

    (1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala
    kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika.
    (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    meliputi:
    a. Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi;
    b. alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan untuk
    melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika;
    c. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu produk
    sebelum diedarkan;
    d. produksi;
    e. impor dan ekspor;
    f. peredaran;
    g. pelabelan;
    h. informasi; dan

    i. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi.

    Pasal 62

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 60 dan pengawasan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 61 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 63

    Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain
    dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral,
    baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan
    dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai
    dengan kepentingan nasional.

    BAB XI
    PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN

    Bagian Kesatu
    Kedudukan dan Tempat Kedudukan

    Pasal 64

    (1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk
    Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat
    BNN.
    (2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
    lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan
    di bawah dan bertanggung jawab kepada
    Presiden.

    Pasal 65

    (1) BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah
    kerja meliputi seluruh wilayah Negara .
    (2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
    perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
    (3) BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN
    kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
    kabupaten/kota.

    Pasal 66

    BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.

    Pasal 67

    (1) BNN dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh
    seorang sekretaris utama dan beberapa deputi.
    (2) Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membidangi
    urusan:
    a. bidang pencegahan;
    b. bidang pemberantasan;
    c. bidang rehabilitasi;
    d. bidang hukum dan kerja sama; dan
    e. bidang pemberdayaan masyarakat.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan
    tata kerja BNN diatur dengan Peraturan Presiden.

    Bagian Kedua
    Pengangkatan dan Pemberhentian

    Pasal 68

    (1) Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
    (2) Syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
    Kepala BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
    dengan Peraturan Presiden.

    Pasal 69

    Untuk dapat diusulkan menjadi Kepala BNN, seorang calon
    harus memenuhi syarat:

    a.warga negara ;
    b.bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
    c.sehat jasmani dan rohani;
    d.berijazah paling rendah strata 1 (satu);
    e.berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun dalam
    penegakan hukum dan paling singkat 2 (dua) tahun dalam
    pemberantasan Narkotika;
    f. Berusia paling tinggi 56 (lima puluh enam) tahun;
    g. cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan
    memiliki reputasi yang baik;
    h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
    i. tidak menjadi pengurus partai politik; dan
    j. bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan
    lain selama menjabat kepala BNN.

    Bagian Ketiga
    Tugas dan Wewenang

    Pasal 70
    BNN mempunyai tugas:

    a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional
    mengenai pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik
    Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
    rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang
    diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
    e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan
    masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik
    regional maupun internasional, guna mencegah dan
    memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika;
    h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor
    Narkotika;
    i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan
    terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
    j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas
    dan wewenang.

    Pasal 71

    Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan
    dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN
    berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika.

    Pasal 72

    (1) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
    dilaksanakan oleh penyidik BNN.
    (2) Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN.
    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
    Peraturan Kepala BNN.

    BAB XII
    PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

    Pasal 73

    Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
    terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan peraturan
    perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
    Undang ini.

    Pasal 74

    (1) Perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
    dan Prekursor Narkotika, termasuk perkara yang
    didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke
    pengAdilan guna penyelesaian secepatnya.
    (2) Proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan
    tindak pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding,
    tingkat kasasi, peninjauan kembali, dan eksekusi pidana
    mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya harus
    dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 75

    Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik BNN

    berwenang:

    a. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta
    keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    b. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;

    c. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai
    saksi;
    d. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri
    tersangka;
    e. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti
    tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    g. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    h. melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika
    dan Prekursor Narkotika di seluruh wilayah juridiksi
    nasional;
    i. melakukan penyadapan yang terkait dengan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang
    cukup;
    j. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan
    penyerahan di bawah pengawasan;
    k. memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    l. melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam
    dioksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh
    lainnya;
    m. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
    n. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang,
    dan tanaman;
    o. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui
    pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga
    mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    p. melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika yang disita;
    q. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang
    bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    r. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam
    hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan
    dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    dan

    s. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti
    adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 76

    (1) Pelaksanaan kewenangan penangkapan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 75 huruf g dilakukan paling lama 3
    x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat
    penangkapan diterima penyidik.
    (2) Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
    diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh
    empat) jam.

    Pasal 77

    (1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf
    i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang
    cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
    sejak surat penyadapan diterima penyidik.
    (2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
    dilaksanakan atas izin tertulis dari ketua pengadilan.
    (3) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
    diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
    (4) Tata cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan
    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 78

    (1) Dalam keadaan mendesak dan Penyidik harus melakukan
    penyadapan, penyadapan dapat dilakukan tanpa izin
    tertuLis dari ketua pengadilan negeri lebih dahulu.
    (2) Dalam waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh
    empat) jam Penyidik wajib meminta izin tertulis kepada
    ketua pengadilan negeri mengenai penyadapan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 79

    Teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di
    bawah pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
    huruf j dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis dari
    pimpinan.

    Pasal 80

    Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga
    berwenang:

    a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan
    barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada
    jaksa penuntut umum;
    b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga
    keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga
    dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
    dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain
    yang terkait;
    c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga
    keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka
    yang sedang diperiksa;
    d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan
    Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang
    untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
    f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
    kepada instansi terkait;
    g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
    transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau
    mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
    dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga
    berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
    dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
    dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
    h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak
    hukum negara lain untuk melakukan pencarian,
    penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.

    Pasal 81

    Penyidik Kepolisian Negara dan penyidik
    BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.

    Pasal 82

    (1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
    dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
    Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
    pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor
    NarkOtika.
    (2)
    Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau
    lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas
    dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
    Narkotika berwenang:
    a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan
    tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika
    dan Prekursor Narkotika;
    b. memeriksa orang yang diduga melakukan
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau
    badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan
    Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang
    adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan
    Prekursor Narkotika;
    g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    dan
    h. menangkap orang yang diduga melakukan
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 83

    Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan
    memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
    dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 84
    Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik
    Kepolisian Negara memberitahukan secara
    tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu
    pula sebaliknya.

    Pasal 85
    Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan
    Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri
    sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik
    Kepolisian Negara sesuai dengan Undang-
    Undang tentang Hukum Acara Pidana.

    Pasal 86

    (1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
    dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
    Pidana.
    (2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
    disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
    serupa dengan itu; dan
    b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
    dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan
    atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
    atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun
    yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
    terbatas pada:
    1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
    2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
    3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi
    yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang
    yang mampu membaca atau memahaminya.

    Pasal 87

    (1) Penyidik Kepolisian Negara atau
    penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan
    Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan
    Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika
    dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan
    membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan
    dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
    a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal,
    bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
    c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
    Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
    d. tanda tangan dan identitas lengkap penyidik yang
    melakukan penyitaan.

    (2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
    memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada
    kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling
    lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak
    dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan
    kepada ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan
    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

    Pasal 88

    (1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan
    penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika
    wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan
    barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada
    penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik
    Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga
    kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan
    tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
    kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
    setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
    Makanan.
    (2) Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14
    (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit
    terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.

    Pasal 89

    (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dan
    Pasal 88 bertanggung jawab atas penyimpanan dan
    pengamanan barang sitaan yang berada di bawah
    penguasaannya.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan Narkotika
    dan Prekursor Narkotika yang disita sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
    Pemerintah.

    Pasal 90

    (1) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan
    pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik Kepolisian
    Negara , penyidik BNN, dan penyidik
    pegawai negeri sipil menyisihkan sebagian kecil barang
    sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk dijadikan
    sampel guna pengujian di laboratorium tertentu dan
    dilaksanakan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali
    dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium
    tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 91

    (1) Kepala kejaksaan negeri setempat setelah menerima
    pemberitahuan tentang penyitaan barang Narkotika dan
    Prekursor Narkotika dari penyidik Kepolisian Negara
    atau penyidik BNN, dalam waktu
    paling lama 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang
    sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika tersebut untuk
    kepentingan pembuktian perkara, kepentingan
    pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
    kepentingan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
    dimusnahkan.
    (2) Barang sitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
    berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik
    yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib
    dimusnahkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari
    terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari
    kepala kejaksaan negeri setempat.
    (3) Penyidik wajib membuat berita acara pemusnahan dalam
    waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
    sejak pemusnahan tersebut dilakukan dan menyerahkan
    berita acara tersebut kepada penyidik BNN atau penyidik
    Kepolisian Negara setempat dan
    tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala
    kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri
    setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan
    Makanan.
    (4) Dalam keadaan tertentu, batas waktu pemusnahan
    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang 1
    (satu) kali untuk jangka waktu yang sama.

    (5) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada
    ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 75
    huruf k.
    (6) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi diserahkan kepada Menteri dan
    untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan diserahkan
    kepada Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara
    dalam waktu paling lama 5 (lima) hari
    terhitung sejak menerima penetapan dari kepala kejaksaan
    negeri setempat.
    (7) Kepala BNN dan Kepala Kepolisian Negara Republik
    Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
    menyampaikan laporan kepada Menteri mengenai
    penggunaan barang sitaan untuk kepentingan pendidikan
    dan pelatihan.

    Pasal 92

    (1) Penyidik Kepolisian Negara dan
    penyidik BNN wajib memusnahkan tanaman Narkotika
    yang ditemukan dalam waktu paling lama 2 x 24 (dua kali
    dua puluh empat) jam sejak saat ditemukan, setelah
    disisihkan sebagian kecil untuk kepentingan penyidikan,
    penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dapat
    disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi, serta untuk kepentingan
    pendidikan dan pelatihan.
    (2) Untuk tanaman Narkotika yang karena jumlahnya dan
    daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau
    transportasi, pemusnahan dilakukan dalam waktu paling
    lama 14 (empat belas) hari.
    (3) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman Narkotika
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
    pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya
    memuat:
    a.nama, jenis, sifat, dan jumlah;
    b. keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan,
    dan tahun ditemukan dan dilakukan pemusnahan;
    c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
    tanaman Narkotika; dan
    d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
    pejabat atau pihak terkait lainnya yang menyaksikan
    pemusnahan.

    (4) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
    dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    disimpan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian.
    (5) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
    dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    disimpan oleh Menteri dan Badan Pengawas Obat dan
    Makanan untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi.
    (6) Sebagian kecil tanaman Narkotika yang tidak
    dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    disimpan oleh BNN untuk kepentingan pendidikan dan
    pelatihan.

    Pasal 93

    Selain untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    90, Pasal 91, dan Pasal 92 sebagian kecil Narkotika atau
    tanaman Narkotika yang disita dapat dikirimkan ke negara lain
    yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika
    tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan
    asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan
    peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau
    berdasarkan asas timbal balik.

    Pasal 94

    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
    penyerahan dan pemusnahan barang sitaan sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan
    Peraturan Pemerintah.

    Pasal 95

    Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
    pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan
    barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 90 dan Pasal 91.

    Pasal 96

    (1) Apabila berdasarkan putusan pengadilan yang telah
    memperoleh kekuatan hukum tetap terbukti bahwa barang
    sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal
    91 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik
    barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh
    Pemerintah.

    (2) Besaran ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    ditetapkan oleh pengadilan.

    Pasal 97

    Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang
    pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan
    keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda
    istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang
    diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan
    tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang
    dilakukan tersangka atau terdakwa.

    Pasal 98

    Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa
    seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak,
    dan setiap orang atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak
    pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
    terdakwa.

    Pasal 99

    (1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
    bersangkutan dengan perkara tindak pidana Narkotika
    dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan,
    dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal
    yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
    identitas pelapor.
    (2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan
    orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak
    pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika untuk tidak
    melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 100

    (1) Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
    memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan
    oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa,
    dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun
    sesudah proses pemeriksaan perkara.
    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan
    oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
    dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 101

    (1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang
    digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan
    Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan
    Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas
    untuk negara.
    (2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang
    beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan
    terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang
    bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
    setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
    (3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang
    merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak
    pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
    putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
    hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan
    untuk kepentingan:
    a.pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika; dan
    b.upaya rehabilitasi medis dan sosial.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan
    harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak
    pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
    Peraturan Pemerintah.

    Pasal 102

    Perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
    dapat dilakukan atas permintaan negara lain berdasarkan
    perjanjian antarnegara.

    Pasal 103

    (1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
    a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan
    menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
    rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti
    bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

    b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan
    menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
    rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak
    terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
    (2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi
    Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

    BAB XIII
    PERAN SERTA MASYARAKAT

    Pasal 104

    Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya

    untuk berperan serta membantu pencegahan dan
    pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 105

    Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya
    pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 106

    Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika diwujudkan dalam bentuk:

    a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya
    dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika;
    b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan
    memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi
    tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada
    penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak
    pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
    c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
    jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
    perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

    d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya
    yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;
    e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang
    bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir
    dalam proses peradilan.

    Pasal 107

    Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang
    atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 108

    (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 104, Pasal 105, dan Pasal 106 dapat dibentuk dalam
    suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN.
    (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
    dengan Peraturan Kepala BNN.

    BAB XIV
    PENGHARGAAN

    Pasal 109

    Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum
    dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan,
    pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 110

    Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    109 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

    BAB XV

    KETENTUAN PIDANA

    Pasal 111

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai,
    atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
    tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
    4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
    ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
    (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki,
    menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
    Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu)
    kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku
    dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
    pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
    lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
    (sepertiga).

    Pasal 112

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
    Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan
    pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
    lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
    atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
    (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
    seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
    tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
    denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
    ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 113

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
    Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
    belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
    banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
    mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk
    tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
    5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
    beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan
    pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
    penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
    (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
    (sepertiga).

    Pasal 114

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
    menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
    menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
    pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
    singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
    banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
    membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
    menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk
    tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi
    5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
    beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana
    mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
    paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua
    puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 115

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
    Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
    belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
    atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya
    melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang
    pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana
    dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
    puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 116

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain
    atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan
    orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
    5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu
    miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
    (sepuluh miliar rupiah).
    (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau
    pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang
    lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
    orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
    dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
    pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
    lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
    (sepertiga).

    Pasal 117

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
    Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
    (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
    Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
    menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
    pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
    (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
    pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 118

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
    Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua
    belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
    mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
    (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
    penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
    5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
    pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 119

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
    menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
    menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
    pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
    lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

    (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
    membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
    menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
    (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
    penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat
    5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
    pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 120

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
    Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
    (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
    Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
    atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
    maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
    singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
    tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 121

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain
    atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan
    orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
    4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
    ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00
    (delapan miliar rupiah).

    (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau
    pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang
    lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
    orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
    dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
    pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
    lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
    (sepertiga).

    Pasal 122

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
    Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
    (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
    Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
    menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram,
    pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
    (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
    pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 123

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
    Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00
    (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
    Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
    mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
    (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
    belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 124

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
    menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
    menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
    pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
    lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual,
    membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
    menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III
    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5
    (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
    belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 125

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
    Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
    tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00
    (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak
    Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
    (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut,
    atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram
    maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
    singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
    dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

    Pasal 126

    (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
    menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain
    atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan
    orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat
    3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus
    juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
    miliar rupiah).
    (2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau
    pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang
    lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
    orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana
    dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
    paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
    maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
    1/3 (sepertiga).

    Pasal 127

    (1) Setiap Penyalah Guna:
    a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
    pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
    b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana
    dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
    c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
    dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
    (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan

    Pasal 103.
    (3)
    Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada
    ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
    penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib
    menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
    Pasal 128

    (1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup
    umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
    yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana
    kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
    paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

    (2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
    dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
    (3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
    rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
    rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
    ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
    (4)
    Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis
    sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
    standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

    Pasal 129

    Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
    tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
    banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap orang
    yang tanpa hak atau melawan hukum:

    a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
    Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
    b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
    Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
    c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima,
    menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
    menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan
    Narkotika;
    d. membawa,mengirim, mengangkut, atau mentransito
    Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
    Pasal 130

    (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
    Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
    Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
    Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain
    pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana
    yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana
    denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut.

    (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
    korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
    a. pencabutan izin usaha; dan/atau
    b. pencabutan status badan hukum.

    Pasal 131

    Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya
    tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal
    112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117,
    Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
    123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal
    128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara
    paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak
    Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

    Pasal 132

    (1) Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan
    tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal
    113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal
    118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal
    123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129,
    pelakunya dipidana dengan pidana penjara yang sama
    sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal-Pasal tersebut.
    (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal
    116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal
    121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal
    126, dan Pasal 129 dilakukan secara terorganisasi, pidana
    penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3
    (sepertiga).
    (3) Pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
    tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan
    pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
    penjara 20 (dua puluh) tahun.

    Pasal 133

    (1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
    sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
    memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
    memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
    atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
    melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115,
    Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120,
    Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
    Pasal 126, dan Pasal 129 dipidana dengan pidana mati
    atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua
    puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
    banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
    (2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
    sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
    memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
    memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat,
    atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk
    menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara
    paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
    belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
    banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    Pasal 134

    (1) Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur dan dengan
    sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
    paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
    banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
    (2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud
    pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan
    Pecandu Narkotika tersebut dipidana dengan pidana
    kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda
    paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).

    Pasal 135

    Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan
    kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana
    dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
    paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
    Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

    Pasal 136

    Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang
    diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana
    Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda
    bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
    berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan
    untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana
    Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.

    Pasal 137

    Setiap orang yang:

    a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan,
    menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau
    menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan,
    menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang,
    harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda
    bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
    berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika
    dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana
    dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
    paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
    sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
    banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
    b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan,
    penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran
    investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta
    atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda
    bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak
    berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana
    Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika,
    dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
    tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
    denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
    rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
    rupiah).

    Pasal 138

    Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit
    penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak
    pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika
    di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara
    paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak
    Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

    Pasal 139

    Nakhoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum
    tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
    Pasal 27 atau Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling
    singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
    pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
    rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
    rupiah).

    Pasal 140

    (1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum
    tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
    dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana
    penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
    (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
    Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
    (2) Penyidik Kepolisian Negara dan
    penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan
    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal
    90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1),
    ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1).

    Pasal 141

    Kepala kejaksaan negeri yang secara melawan hukum tidak
    melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
    91 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
    (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
    denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
    dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 142

    Petugas laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau
    secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban
    melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut
    umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
    tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00
    (lima ratus juta rupiah).

    Pasal 143

    Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam
    pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana
    penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
    (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
    60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
    600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

    Pasal 144

    (1) Setiap orang yang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun
    melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal
    114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal
    119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal
    124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128
    ayat (1), dan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah
    dengan 1/3 (sepertiga).
    (2) Ancaman dengan tambahan 1/3 (sepertiga) sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pelaku tindak
    pidana yang dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara
    seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.

    Pasal 145

    Setiap orang yang melakukan tindak pidana Narkotika
    dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika sebagaimana
    dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114,
    Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal
    120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125,
    Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129
    di luar wilayah Negara diberlakukan juga
    ketentuan Undang-Undang ini.

    Pasal 146

    (1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak
    pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
    Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana
    diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran
    keluar wilayah Negara .
    (2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana
    dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke
    wilayah Negara .
    (3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak
    pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor
    Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah
    Negara .

    Pasal 147

    Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
    dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
    sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
    banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:

    a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
    pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
    pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
    Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
    kesehatan;
    b. pimpinan
    lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
    membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
    bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan;
    c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
    Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
    pengembangan ilmu pengetahuan; atau
    d. pimpinan
    pedagang besar farmasi yang mengedarkan
    Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
    pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
    Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
    pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
    pengembangan ilmu pengetahuan.

    Pasal 148

    Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam
    Undang-Undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak
    pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika,
    pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
    sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

    BAB XVI
    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 149

    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

    a. Badan Narkotika Nasional yang dibentuk berdasarkan
    Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan
    Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan
    Narkotika kabupaten/kota, dinyatakan sebagai BNN, BNN
    provinsi, dan BNN kabupaten/kota berdasarkan Undang-
    Undang ini;
    b. Kepala Pelaksana Harian BNN untuk pertama kali
    ditetapkan sebagai Kepala BNN berdasarkan Undang-
    Undang ini;
    c. Pejabat dan pegawai di lingkungan Badan Narkotika
    Nasional yang ditetapkan berdasarkan Peraturan
    Nomor 83 Tahun 2007 adalah pejabat dan pegawai BNN
    berdasarkan Undang-Undang ini;
    d. dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-
    Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
    kerja Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
    berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007
    harus sudah disesuaikan dengan Undang-Undang ini;
    e. dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-
    Undang ini diundangkan, struktur organisasi dan tata
    kerja BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota yang
    dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83
    Tahun 2007 harus sudah disesuaikan dengan Undang-
    Undang ini.

    Pasal 150

    Program dan kegiatan Badan Narkotika Nasional yang
    dibentuk berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun
    2007 yang telah dilaksanakan tetapi belum selesai, masih tetap
    dapat dijalankan sampai dengan selesainya program dan
    kegiatan dimaksud termasuk dukungan anggarannya.

    Pasal 151

    Seluruh aset Badan Narkotika Nasional yang dibentuk
    berdasarkan Peraturan Nomor 83 Tahun 2007, baik
    yang berada di BNN provinsi, maupun di BNN kabupaten/kota
    dinyatakan sebagai aset BNN berdasarkan Undang-Undang ini.

    BAB XVII
    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 152

    Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
    peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
    1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara
    Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
    Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini
    diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak
    bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru
    berdasarkan Undang-Undang ini.

    Pasal 153

    Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

    a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
    (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
    67, Tambahan Lembaran Negara Nomor
    3698); dan
    b. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan
    Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran
    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
    (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
    10, Tambahan Lembaran Negara Nomor
    3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan
    I menurut Undang-Undang ini,
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

    Pasal 154

    Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
    ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang
    ini diundangkan.

    Pasal 155

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
    pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
    dalam Lembaran Negara .

    Disahkan di Jakarta
    pada tanggal 12 Oktober 2009,

    ttd

    DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

    Diundangkan di Jakarta

    pada tanggal 12 Oktober 2009

    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

    ttd

    ANDI MATTALATTA

    LEMBARAN NEGARA TAHUN 2009 NOMOR 143

    PENJELASAN
    ATAS
    UNDANG-UNDANG
    NOMOR 35 TAHUN 2009
    TENTANG
    NARKOTIKA

    I. UMUM
    Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan
    diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika
    disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar
    pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi
    perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan
    lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran
    gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi
    kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan
    dapat melemahkan ketahanan nasional.

    Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
    gelap Narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan
    masyarakat, bangsa, dan negara, pada Sidang Umum Majelis
    Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 melalui
    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
    VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan
    Rakyat dan untuk
    melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
    tentang Narkotika.

    Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur
    upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui
    ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan
    pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
    juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan
    pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis
    dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di
    dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin
    meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban
    yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi
    muda pada umumnya.

    Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara
    perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang
    secara bersama – sama, bahkan merupakan satu sindikat
    yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang
    bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional

    maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan
    upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu
    dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
    tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan
    yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif
    dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja,
    dan generasi muda pada umumnya.

    Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
    Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika,
    dalam Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika
    karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau
    bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam
    Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan
    melakukan penggolongan terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika.
    Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan
    Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan
    efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi
    pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20
    (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati.
    Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada
    golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.

    Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
    Narkotika, diatur mengenai penguatan kelembagaan yang sudah ada
    yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN tersebut didasarkan pada
    Peraturan Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika
    Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan Badan Narkotika
    Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non struktural yang
    berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada
    Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan
    koordinasi. Dalam Undang-Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan
    menjadi lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat
    kewenangannya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN
    berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
    Presiden. Selain itu, BNN juga mempunyai perwakilan di daerah provinsi
    dan kabupaten/kota sebagai instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan
    BNN kabupaten/kota.

    Untuk lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh
    harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana
    Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang
    dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan
    putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
    dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan pelaksanaan
    pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika dan upaya rehabilitasi medis dan
    sosial.

    Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
    gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya
    semakin canggih, dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai
    perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik
    pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang
    diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna
    melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap
    Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan
    secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas
    negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik
    bilateral, regional, maupun internasional.

    Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam
    usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan
    Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota
    masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan
    tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah
    berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
    dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    II. PASAL DEMI PASAL
    Pasal
    1
    Cukup jelas.

    Pasal
    2
    Cukup jelas.

    Pasal
    3
    Cukup jelas.

    Pasal
    4
    Cukup jelas.

    Pasal 5
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika”
    hanya untuk industri farmasi.

    Pasal 6
    Ayat (1)
    Huruf a
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
    ”Narkotika Golongan I” adalah Narkotika yang hanya
    dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
    pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

    mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
    ketergantungan.

    Huruf b
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
    ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat
    pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
    dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
    pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
    potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

    Huruf c
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
    ”Narkotika Golongan III” adalah Narkotika berkhasiat
    pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
    dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
    pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
    mengakibatkan ketergantungan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan ”perubahan penggolongan
    Narkotika” adalah penyesuaian penggolongan Narkotika
    berdasarkan kesepakatan internasional dan pertimbangan
    kepentingan nasional.

    Pasal 7
    Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk
    pelayanan rehabilitasi medis.
    Yang dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi” adalah penggunaan Narkotika terutama untuk
    kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk
    kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan
    serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah
    yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan,
    penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.
    Kepentingan pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah
    termasuk untuk kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika
    dari pihak Kepolisian Negara , Bea dan Cukai
    dan Badan Narkotika Nasional serta instansi lainnya.

    Pasal 8
    Ayat (1)
    Cukup jelas.

    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:

    a.
    reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I
    tersebut secara terbatas dipergunakan untuk
    mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan
    oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau
    bukan.
    b.
    reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I
    tersebut secara terbatas dipergunakan untuk
    mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau
    ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis
    Narkotika atau bukan.
    Pasal 9
    Cukup jelas.

    Pasal 10
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah
    Narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh
    antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama
    dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh
    dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan
    ketentuan Undang-Undang ini.
    Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan
    terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu
    pengetahuan, dan teknologi termasuk juga keperluan
    pendidikan, pelatihan, dan keterampilan yang dilaksanakan
    oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya
    melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan
    peredaran gelap Narkotika.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 11
    Ayat (1)
    Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan
    izin kepada lebih dari satu industri farmasi yang berhak
    memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat
    selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan
    Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.

    Pasal 12
    Ayat (1)
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi”
    adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang
    mengandung Narkotika.
    Yang dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas”
    adalah tidak melebihi kebutuhan yang diperlukan untuk
    kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
    teknologi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.

    Pasal 13
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu
    pengetahuan yang secara khusus atau yang salah satu
    fungsinya melakukan kegiatan percobaan penelitian dan
    pengembangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 14
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai
    pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
    Ayat (2)
    Ketentuan ini memberi kewajiban bagi dokter yang
    melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang di
    dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang
    berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada
    rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa
    simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
    Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan
    yang memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan
    mengenai kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika,
    dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep
    selama 3 (tiga) tahun.
    Catatan mengenai Narkotika di badan usaha sebagaimana
    diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan ketentuan
    peraturan perundang-undangan.
    Dokumen pelaporan mengenai Narkotika yang berada di
    bawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
    disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam
    waktu 3 (tiga) tahun.

    Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan,
    dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap
    waktu dapat mengetahui tentang persediaan Narkotika yang
    ada di dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam
    penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika.

    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala

    bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan
    perundang-undangan.
    huruf a

    Cukup jelas.
    huruf b
    Cukup jelas.
    huruf c
    Cukup jelas.
    huruf d
    Cukup jelas.
    huruf e
    Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin
    yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola
    Narkotika.

    Pasal 15
    Ayat (1)
    Cukup jelas.

    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam
    ketentuan ini adalah apabila perusahaan besar farmasi
    milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya
    dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam,
    kebakaran dan lain-lain.

    Pasal 16
    Cukup jelas.

    Pasal 17
    Cukup jelas.

    Pasal 18
    Cukup jelas.

    Pasal 19
    Cukup jelas.

    Pasal 20
    Cukup jelas.

    Pasal 21
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean
    tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri” adalah
    kawasan di pelabuhan laut dan pelabuhan udara internasional
    tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor
    Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi.
    Pelaksanaan impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada
    Undang-Undang tentang Kepabeanan dan/atau peraturan
    perundang-undangan lainnya.

    Pasal 22
    Cukup jelas.

    Pasal 23
    Cukup jelas.

    Pasal 24
    Cukup jelas.

    Pasal 25
    Ketentuan ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik
    melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan
    yang telah ditentukan, demi pengamanan lalu lintas Narkotika di
    Wilayah Negara .
    Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah
    kapten penerbang atau nakhoda.

    Pasal 26
    Cukup jelas.

    Pasal 27
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat
    yang aman” dalam ketentuan ini adalah kemasan yang
    berbeda dengan kemasan lainnya yang ditempatkan pada
    tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan
    laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum
    dan memperketat pengawasan.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.

    Pasal 28
    Cukup jelas.

    Pasal 29
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas. .
    Huruf b
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis”
    adalah sediaan bentuk garam atau basa.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk”
    adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat
    jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul,
    cairan.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah”
    adalah angka yang menunjukkan banyaknya
    Narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam
    kilogram, isi dalam milliliter.
    Huruf c
    Cukup jelas.

    Pasal 30
    Ketentuan ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito
    Narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila
    dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force
    majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan,
    maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang
    ditentukan dalam ketentuan ini.
    Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan,
    Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean, dan tanggung jawab
    pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.

    Pasal 31
    Ketentuan ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan
    Pengawas Obat dan Makanan dalam pengemasan kembali
    Narkotika pada Transito Narkotika adalah sesuai dengan tugas
    dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.

    Pasal 32
    Cukup jelas.

    Pasal 33
    Cukup jelas.

    Pasal 34
    Ketentuan ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja
    dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika
    laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan
    waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus
    segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot Narkotika
    yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang
    dimiliki.

    Pasal 35
    Cukup jelas.

    Pasal 36
    Cukup jelas.

    Pasal 37
    Cukup jelas.

    Pasal 38
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi
    dengan dokumen yang sah” adalah bahwa setiap peredaran
    Narkotika termasuk pemindahan Narkotika ke luar kawasan
    pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang
    dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi, pedagang besar
    farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah
    sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek.
    Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor,
    faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau
    salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak
    terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.

    Pasal 39
    Ayat (1)
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri
    farmasi, dan pedagang besar farmasi” adalah industri
    farmasi, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah
    memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
    Ayat (2)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran
    Narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi
    pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan
    pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut
    tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
    Makanan.

    Pasal 40
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.

    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana
    penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu”
    adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan
    alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah
    Pusat maupun Pemerintah Daerah, TNI dan
    Kepolisian Negara , Badan Usaha
    Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam
    rangka pelayanan kesehatan.
    Huruf d
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah
    sakit” adalah rumah sakit yang telah memiliki
    instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri
    farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi
    tertentu.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.

    Pasal 41
    Cukup jelas.

    Pasal 42
    Cukup jelas.

    Pasal 43
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang
    belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat
    memperoleh Narkotika dari apotek.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.

    Ayat (4)
    Huruf a
    Ketentuan ini menegaskan bahwa pemberian
    kewenangan penyimpanan dan penyerahan Narkotika
    dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral
    (khususnya tablet morphin) salah satu tujuannya
    adalah untuk memudahkan dokter memberikan tablet
    Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap
    penyakit kanker stadium yang tidak dapat
    disembuhkan dan hanya morphin satu-satunya obat
    yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak
    terhingga dari penderita kanker tersebut.
    Huruf b
    Lihat penjelasan huruf a.
    Huruf c
    Ketentuan ini menegaskan bahwa penyerahan
    Narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di
    daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan
    surat izin penyimpanan Narkotika dari Menteri
    Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin
    tersebut melekat pada surat keputusan penempatan
    di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
    Ayat (5)
    Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika
    Golongan II dan Golongan III.

    Pasal 44
    Cukup jelas.

    Pasal 45
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa pencantuman label
    dimaksudkan untuk memudahkan pengenalan sehingga
    memudahkan pula dalam pengendalian dan
    pengawasannya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah
    label khusus yang diperuntukan bagi Narkotika yang
    berbeda dari label untuk obat lainnya.

    Pasal 46
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan”
    adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk
    Narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku
    Narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi.

    Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya
    penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.
    Pasal 47
    Cukup jelas.

    Pasal 48
    Cukup jelas.

    Pasal 49
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri
    yang membidangi urusan perindustrian dan menteri yang
    membidangi urusan perdagangan.

    Pasal 50
    Cukup jelas.

    Pasal 51
    Cukup jelas.

    Pasal 52
    Cukup jelas.

    Pasal 53
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat
    keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.

    Pasal 54
    Yang dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika”
    adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika
    karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam
    untuk menggunakan Narkotika.

    Pasal 55
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu
    Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya
    penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu
    Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali,

    masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab
    pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
    Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam

    ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur
    18 (delapan belas) tahun.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.

    Pasal 56
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu
    Narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan
    dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan
    sosial penderita yang bersangkutan.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya
    Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah
    Daerah.
    Ketentuan ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis
    bagi Pecandu Narkotika pengguna jarum suntik dapat
    diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan
    antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik
    dengan pengawasan ketat Departemen Kesehatan.

    Pasal 57
    Cukup jelas.

    Pasal 58
    Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui
    pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternatif
    lainnya.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu
    Narkotika” adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan
    terhadap Narkotika secara fisik dan psikis.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “lembaga rehabilitasi
    sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan
    baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

    Pasal 59
    Cukup jelas.

    Pasal 60
    Ayat (1)
    Cukup jelas.

    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan
    melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan
    tinggi.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam
    ketentuan ini misalnya memberikan penguatan,
    dorongan, atau fasilitasi agar lembaga rehabilitasi
    medis terjaga keberlangsungannya.

    Pasal 61
    Cukup jelas.

    Pasal 62
    Cukup jelas.

    Pasal 63
    Ketentuan ini menegaskan bahwa kerja sama internasional
    meliputi juga kerja sama dalam rangka pencegahan dan
    pemberantasan kejahatan Narkotika transnasional yang
    terorganisasi.

    Pasal 64
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya
    Badan Narkotika Nasional yang bertanggung jawab langsung
    kepada yang mempunyai tugas dan fungsi
    koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika
    dan Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika, diharapkan penyalahgunaan dan
    peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dapat
    dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 65
    Cukup jelas.

    Pasal 66
    Cukup jelas.

    Pasal 67
    Cukup jelas.

    Pasal 68
    Cukup jelas.

    Pasal 69
    Cukup jelas.

    Pasal 70
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas
    Huruf c
    Yang dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian
    Negara ” dalam ketentuan ini adalah
    tidak mengurangi kemandirian dalam menentukan
    kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Cukup jelas.

    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.

    Pasal 73
    Cukup jelas.

    Pasal 74
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain
    yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk

    didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada
    pengadilan.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyelesaian

    secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan
    putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau
    eksekusi.

    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 75
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.

    Huruf h
    Yang dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar
    dan/atau menghentikan seseorang/kelompok orang, kapal,
    pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa
    Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap
    tersangkanya dan disita barang buktinya.
    Huruf i
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan”
    adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan
    dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN
    atau Penyidik Kepolisian Negara dengan
    cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan
    kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/atau
    pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi
    elektronik lainnya.

    Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan
    elektronik dengan cara antara lain:

    a.
    pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran
    untuk mendengar/merekam semua pembicaraan
    (bugging);
    b.
    pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang
    yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
    c.
    intersepsi internet;
    d.
    cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
    e.
    CCTV (Close Circuit Television);
    f. pelacak lokasi tersangka (direction finder).
    Perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk
    mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang
    digunakan oleh para pelaku tindak pidana Narkotika dan
    tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan
    jaringannya baik nasional maupun internasional karena
    perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh
    pelaku kriminal yang sangat menguntungkan mereka.
    Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat
    Narkotika dan Prekursor Narkotika maka sistem
    komunikasi/telekomunikasi mereka harus bisa ditembus
    oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan
    tersebut.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh
    lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu
    pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada
    tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau
    beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA)
    untuk identifikasi korban, pecandu, dan tersangka.
    Huruf m
    Cukup jelas.
    Huruf n
    Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini
    adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable)
    maupun stationere.
    Huruf o
    Cukup jelas.
    Huruf p
    Cukup jelas.
    Huruf q
    Cukup jelas.
    Huruf r
    Cukup jelas.

    Huruf
    s
    Cukup jelas.

    Pasal 76
    Cukup jelas.

    Pasal 77
    Cukup jelas.

    Pasal 78
    Cukup jelas.

    Pasal 79
    Cukup jelas.

    Pasal 80
    Cukup jelas.

    Pasal 81
    Cukup jelas.

    Pasal 82
    Ayat (1)
    Cukup jelas.

    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “kementerian atau lembaga
    pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan
    tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor
    Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian
    Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
    dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
    Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian atau
    lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai
    dengan bidang tugasnya masing-masing yang dalam
    pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordinasi
    sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 83
    Cukup jelas.

    Pasal 84
    Cukup jelas.

    Pasal 85
    Cukup jelas.

    Pasal 86
    Cukup jelas.

    Pasal 87
    Cukup jelas.

    Pasal 88
    Cukup jelas.

    Pasal 89
    Cukup jelas.

    Pasal 90
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium
    tertentu” adalah laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai
    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 91
    Cukup jelas.

    Pasal 92
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang
    dimaksud pada ayat ini tidak hanya yang ditemukan di
    ladang juga yang ditemukan di tempat-tempat lain atau
    tempat tertentu yang ditanami Narkotika, termasuk

    tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan
    dalam waktu bersamaan ditempat tersebut.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “sebagian kecil”

    adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman Narkotika
    untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan,
    penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

    Ayat (2)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat
    belas) hari dimaksudkan agar penyidik Kepolisian Negara
    yang bertugas di daerah yang letak
    geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat
    melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang
    ditemukan dengan sebaik-baiknya karena pelanggaran
    terhadap jangka waktu ini dapat dikenakan pidana.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat
    yang menyaksikan pemusnahan” adalah pejabat yang

    mewakili unsur kejaksaan dan Badan Pengawas Obat

    dan Makanan.
    Dalam hal kondisi tempat tanaman Narkotika
    ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan
    unsur pejabat tersebut maka pemusnahan disaksikan
    oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat
    setempat.

    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi
    jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).
    Ayat (6)
    Cukup jelas.

    Pasal 93
    Cukup jelas.

    Pasal 94
    Cukup jelas.

    Pasal 95
    Cukup jelas.

    Pasal 96
    Cukup jelas.

    Pasal 97
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta
    kekayaan dan harta benda” adalah seluruh kekayaan yang
    dimiliki, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang
    berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam
    penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri
    atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh
    atau diduga diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang
    dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

    Pasal 98
    Berdasarkan ketentuan ini Hakim bebas untuk melaksanakan
    kewenangannya meminta terdakwa untuk membuktikan bahwa
    seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak
    dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana
    Narkotika dan Prekursor Narkotika.

    Pasal 99
    Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
    terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan
    mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat
    pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau
    jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.

    Pasal 100
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang
    mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau
    ke bawah dan garis menyamping sampai derajat kesatu.

    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 101
    Ayat (1)
    Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan
    Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk
    negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses

    penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor
    Narkotika.
    Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya”

    adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang
    diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana
    Narkotika.

    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Perampasan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak
    pidana pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan
    yang tetap, dirampas untuk negara dan dapat digunakan
    untuk biaya pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika serta untuk pembayaran premi bagi
    anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya
    tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor
    Narkotika. Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk
    berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan
    penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
    Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan
    atau aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan
    untuk membiayai rehabilitasi medis dan sosial para korban
    penyalahguna Narkotika dan Prekursor Narkotika. Proses
    penyidikan harta dan kekayaan atau aset hasil tindak
    pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan
    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
    Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
    Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.

    Pasal 102
    Cukup jelas.

    Pasal 103

    Ayat (1)
    Huruf a
    Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata
    memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti
    bersalah melakukan tindak pidana Narkotika
    mengandung pengertian bahwa putusan hakim
    tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu
    Narkotika yang bersangkutan.
    Huruf b
    Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata
    menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak
    terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika
    mengandung pengertian bahwa penetapan hakim
    tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi
    Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan
    tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu
    penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut
    walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak

    pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani
    pengobatan dan perawatan.
    Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu

    Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak
    pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan
    tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau
    perawatan tersebut merupakan bagian dari masa
    menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu
    Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya
    pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status
    tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan
    rumah dan tahanan kota.

    Ayat (2)
    Cukup jelas.

    Pasal 104
    Cukup jelas.

    Pasal 105
    Cukup jelas.

    Pasal 106
    Cukup jelas.

    Pasal 107
    Cukup jelas.

    Pasal 108
    Cukup jelas.

    Pasal 109
    Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan
    harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan
    terhadap yang diberi penghargaan. Penghargaan diberikan dalam
    bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan
    lainnya.

    Pasal 110
    Cukup jelas.

    Pasal 111
    Cukup jelas.

    Pasal 112
    Cukup jelas.

    Pasal 113
    Cukup jelas.

    Pasal 114
    Cukup jelas.

    Pasal 115
    Cukup jelas.

    Pasal 116
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan
    ini adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang bersifat
    tetap atau tidak dapat dipulihkan/disembuhkan.

    Pasal 117
    Cukup jelas.

    Pasal 118
    Cukup jelas.

    Pasal 119
    Cukup jelas.

    Pasal 120
    Cukup jelas.

    Pasal 121
    Cukup jelas.

    Pasal 122
    Cukup jelas.

    Pasal 123
    Cukup jelas.

    Pasal 124
    Cukup jelas.

    Pasal 125
    Cukup jelas.

    Pasal 126
    Cukup jelas.

    Pasal 127
    Cukup jelas.

    Pasal 128
    Cukup jelas.

    Pasal 129
    Cukup jelas.

    Pasal 130
    Cukup jelas.

    Pasal 131
    Cukup jelas.

    Pasal 132
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsurunsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
    selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan
    karena kehendaknya sendiri.

    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.

    Pasal 133
    Cukup jelas.

    Pasal 134
    Cukup jelas.

    Pasal 135
    Cukup jelas.

    Pasal 136
    Cukup jelas.

    Pasal 137
    Cukup jelas.

    Pasal 138
    Cukup jelas.

    Pasal 139
    Cukup jelas.

    Pasal 140
    Cukup jelas.

    Pasal 141
    Cukup jelas.

    Pasal 142
    Cukup jelas.

    Pasal 143
    Cukup jelas.

    Pasal 144
    Cukup jelas.

    Pasal 145
    Cukup jelas.

    Pasal 146
    Cukup jelas.

    Pasal 147
    Cukup jelas.

    Pasal 148
    Cukup jelas.

    Pasal 149
    Cukup jelas.

    Pasal 150
    Cukup jelas.

    Pasal 151
    Cukup jelas.

    Pasal 152
    Cukup jelas.

    Pasal 153
    Cukup jelas.

    Pasal 154
    Cukup jelas.

    Pasal 155
    Cukup jelas.

    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2009 NOMOR 5062

    LAMPIRAN I
    UNDANG-UNDANG
    NOMOR 35 TAHUN 2009
    TENTANG NARKOTIKA

    DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I

    1.
    Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya,
    kecuali bijinya.
    2.
    Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver
    Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan
    tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
    3.
    Opium masak terdiri dari :
    a.
    candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya
    dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain,
    dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
    b.
    jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur
    dengan daun atau bahan lain.
    c.
    jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
    4.
    Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk
    buah dan bijinya.
    5.
    Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman
    genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau
    melalui perubahan kimia.
    6.
    Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung
    untuk mendapatkan kokaina.
    7.
    Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
    8.
    Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk
    biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan
    hasis.
    9.
    Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
    10.
    Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
    11.
    Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina.
    12.
    Acetil – alfa – metil fentanil N-[1-(a-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.
    13.
    Alfa-metilfentanil
    14.
    Alfa-metiltiofentanil
    15.
    Beta-hidroksifentanil
    16.
    Beta-hidroksi-3-metil-fentanil
    17.
    Desmorfina
    18.
    Etorfina
    19.
    Heroina
    20.
    Ketobemidona
    21.
    3-metilfentanil
    22.
    3-metiltiofentanil
    : N-[1 (a-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
    : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
    : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
    : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
    : Dihidrodeoksimorfina
    : tetrahidro-7a-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
    : Diacetilmorfina
    : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4propionilpiperidina
    : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
    : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida

    23.
    MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
    24.
    Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
    25.
    PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
    26.
    Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
    27.
    BROLAMFETAMINA, nama lain : (±)-4-bromo-2,5-dimetoksi- a -metilfenetilamina
    DOB
    28.
    DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
    29.
    DMA : ( + )-2,5-dimetoksi-a -metilfenetilamina
    30.
    DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-
    dibenzo[b, d]piran-1-ol
    31.
    DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
    32.
    DOET : (±)-4-etil-2,5-dimetoksi- a –metilfenetilamina
    33.
    ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
    34.
    ETRIPTAMINA. : 3-(2aminobutil) indole
    35.
    KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
    36.
    ( + )-LISERGIDA, nama lain : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 ß –
    LSD, LSD-25 karboksamida
    37.
    MDMA : (±)-N,
    a
    -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
    38.
    Meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
    39.
    METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
    40.
    4- metilaminoreks : (±)-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
    41.
    MMDA : 5-metoksi- a -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
    42.
    N-etil MDA : (±)-N-etil- a -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
    43.
    N-hidroksi MDA : (±)-N-[ a -metil-3,4(
    metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
    44.
    Paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo
    [b,d] piran-1-ol
    45.
    PMA : p-metoksi- a -metilfenetilamina
    46.
    psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
    47.
    PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
    48.
    ROLISIKLIDINA, nama lain : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
    PHP,PCPY
    49.
    STP, DOM : 2,5-dimetoksi-a ,4-dimetilfenetilamina
    50.
    TENAMFETAMINA, nama lain : a -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
    MDA
    51.
    TENOSIKLIDINA, nama lain : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
    TCP
    52.
    TMA : (±)-3,4,5-trimetoksi- a -metilfenetilamina
    53.
    AMFETAMINA : (±)-a –metilfenetilamina
    54.
    DEKSAMFETAMINA : ( + )-a –metilfenetilamina
    55.
    FENETILINA : 7-[2-[( a -metilfenetil)amino]etil]teofilina
    56.
    FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
    57.
    FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina

    58.
    LEVAMFETAMINA, nama lain : (- )-(R)-a -metilfenetilamina
    levamfetamina
    59.
    Levometamfetamina : ( -)- N, a -dimetilfenetilamina
    60.
    MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
    61.
    METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, a –dimetilfenetilamina
    62.
    METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
    63.
    ZIPEPPROL : a – ( a metoksibenzil)-4-( ß-metoksifenetil )-1piperazinetano
    64.
    Opium Obat
    65.
    Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
    DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II

    1.
    Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
    2.
    Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
    3.
    Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
    4.
    Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
    5.
    Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]4-(
    metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
    6.
    Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
    7.
    Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4karboksilat
    etil ester
    8.
    Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
    9.
    Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4karboksilat
    etil ester
    10.
    Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
    11.
    Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
    12.
    Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
    13.
    Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
    14.
    Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
    15.
    Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1benzimidazolinil)-
    piperidina
    16.
    Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]morfolina
    17.
    Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
    18.
    Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
    19.
    Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4karboksilat
    etil ester
    20.
    Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
    21.
    Dihidromorfina
    22.
    Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
    23.
    Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
    24.
    Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2′-tienil)-1-butena
    25.
    Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat

    26.
    Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
    27.
    Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol
    28.
    Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
    29.
    Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2′-tienil)-1-butena
    30.
    Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4karboksilat
    etil ester
    31.
    Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol
    32.
    Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4karboksilat
    etil ester)
    33.
    Hidrokodona : dihidrokodeinona
    34.
    Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil
    ester
    35.
    Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
    36.
    Hidromorfona : dihidrimorfinona
    37.
    Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
    38.
    Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
    39.
    Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
    40.
    Fenazosina : 2′-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
    41.
    Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
    42.
    Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
    Etil ester
    43.
    Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
    44.
    Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
    45.
    Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
    46.
    Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
    47.
    Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
    48.
    Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
    49.
    Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
    50.
    Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
    51.
    Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
    52.
    Metazosina : 2′-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
    53.
    Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
    54.
    Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
    55.
    Metopon : 5-metildihidromorfinona
    56.
    Mirofina : Miristilbenzilmorfina
    57.
    Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
    58.
    Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
    59.
    Morfina-N-oksida
    60.
    Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan
    morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida
    61.
    Morfina
    62.
    Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
    63.
    Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
    64.
    Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan

    65.
    Normetadona
    : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
    66.
    Normorfina
    : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
    67.
    Norpipanona
    : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
    68.
    Oksikodona
    : 14-hidroksidihidrokodeinona
    69.
    Oksimorfona
    : 14-hidroksidihidromorfinona
    70. Petidina intermediat
    A
    : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
    71. Petidina intermediat
    B
    : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
    72. Petidina intermediat
    C
    : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
    73.
    Petidina
    : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
    74.
    Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil
    ester
    75.
    Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4Karbosilat
    armida
    76.
    Proheptasina
    : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
    77.
    Properidina
    : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
    78.
    Rasemetorfan
    : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan
    79.
    Rasemoramida
    : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
    80.
    Rasemorfan
    : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
    81.
    Sufentanil
    : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil-4-piperidil]propionanilida
    82. Tebaina
    83.
    Tebakon
    : asetildihidrokodeinona
    84.
    Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1karboksilat
    85.
    Trimeperidina
    : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
    86. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
    DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III

    1. Asetildihidrokodeina
    2. Dekstropropoksifena
    : a-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
    3. Dihidrokodeina
    4.
    Etilmorfina
    : 3-etil morfina
    5.
    Kodeina
    : 3-metil morfina
    6.
    Nikodikodina
    : 6-nikotinildihidrokodeina
    7.
    Nikokodina
    : 6-nikotinilkodeina
    8.
    Norkodeina
    : N-demetilkodeina
    9.
    Polkodina
    : Morfoliniletilmorfina
    10.
    Propiram
    : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
    11.
    Buprenorfina : 21-siklopropil-7-a-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]6,14-
    endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina

    12. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
    13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
    14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika

    ttd
    DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO

    LAMPIRAN II
    UNDANG-UNDANG
    NOMOR 35 TAHUN 2009
    TENTANG NARKOTIKA

    GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR

    TABEL I

    1. Acetic Anhydride.
    2. N-Acetylanthranilic Acid.
    3. Ephedrine.
    4. Ergometrine.
    5. Ergotamine.
    6. Isosafrole.
    7. Lysergic Acid.
    8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
    9. Norephedrine.
    10. 1-Phenyl-2-Propanone.
    11. Piperonal.
    12. Potassium Permanganat.
    13. Pseudoephedrine.
    14. Safrole.
    TABEL II

    1. Acetone.
    2. Anthranilic Acid.
    3. Ethyl Ether.
    4. Hydrochloric Acid.
    5. Methyl Ethyl Ketone.
    6. Phenylacetic Acid.
    7. Piperidine.
    8. Sulphuric Acid.
    9. Toluene.

    ttd

    DR. H. SUSILO BAMBANG YUDOYONO


    Sumber :klik disini